Pages

Kamis, 29 September 2011

Kamis, 15 September 2011

Birai-Metafora

Galau

Galau

By: Valley Yang

Pria itu mulai siuman, seakan baru saja terbangun dari mimpi yang panjang. Matanya yang nanar, liar memandang ke sekeliling ruangan kamar yang masih dibius aroma obat-obatan dan cairan antiseptik yang menjentik hidung dengan baunya yang khas rumah sakit. Sedikit cahaya matahari yang menyusup masuk melalui sebagian tirai jendela panjang yang tersingkap, membuat pandangan matanya agak silau, sehingga pria itu kembali memejamkan matanya dan tidur.
Derit pintu membangunkan pria itu, membuatnya sedikit terkejut. Ia perlahan membuka matanya, lalu melihat wanita itu ada di sana, sedang berjalan mendekati ranjangnya. Wajah wanita itu sangat pucat dan keriput hitam di bawah matanya, membuatnya terlihat seperti hantu.
“Tis-na, kau su-dah sa-dar?” tanya wanita itu, suaranya bergetar. Ia mulai menangis dan rintik air mata itu mengucur deras dari sudut matanya. Pria itu hanya mengangguk pelan dan ikut menangis.
“Kau jahat. Kau selalu membuatku khawatir,” kata wanita itu, merajuk.
Ia tetap tidak berubah, ia selalu menyebutku jahat.
Intan, kau egois. Kau selalu menuntut, juga memaksaku mencintai sesuai caramu. Kau bilang aku yang selalu membuatmu khawatir, tapi ternyata kau yang lebih membuatku khawatir. Aku tak bisa tidur jika mengingat malam itu, kau bahkan tak menyayangi dirimu sendiri, kau, kau bahkan berani mengerat urat nadimu sendiri dan membuat air bak mandi menjadi kolam darah yang mengerikan. Kau juga belum puas, kau masih menyalahkanku untuk semua yang terjadi. Kau membuatku takut, kau mungkin sengaja membuatku menderita. Kau …
“Baik, aku jahat. Kau puas?” kata pria itu sambil memalingkan wajahnya dan membenamkannya ke arah bantal dalam-dalam. Ia enggan melihat wanita itu, ia muak.
“Ka-u marah?” tanya wanita itu, tak tenang.
Pria itu hanya diam, tak menjawab.
“Kau tak berperasaan,” teriak wanita itu, parau. Tangisnya membuncah.
“ Kau tahu, lukaku ini belum sembuh, luka ini masih mengeluarkan darah dan kau tak peduli. Kau memang jahat. Kau tak berperasaan,” isak wanita itu sambil berusaha memperlihatkan kain perban yang membalut pergelangan tangannya. Kain itu merah, bercampur darah. Tapi, pria itu tak mau melihatnya.
“Semua gara-gara kau. Kau yang membuat hidupku kacau, kau …”
Wanita itu mulai lagi.
Jika cinta ini menjerumuskan dua orang pelakunya ke dalam jurang penderitaan, membuat mereka sama-sama tak bahagia, untuk apa cinta ini diteruskan? Apakah hanya demi sebuah perasaan yang akan segera menjadi masa lalu? Atau, bahkan hanya sekedar rasa kasihan?
Pria itu memejamkan matanya, ia masih mendengar wanita itu menangis. Ia hanya ingin bebas, ia tak ingin cinta ini diteruskan, ia ingin bicara tegas, namun bagaimana ia akan bicara dengan wanita itu? Tegakah ia melakukannya? Tegakah? Ia hanya takut, takut kalau sesuatu yang lebih buruk akan terjadi pada wanita itu, jika ia mengatakannya.
Ia bimbang, hatinya galau.

Kamis, 08 September 2011

Hidup Seperti Pohon Berbuah Lebat

Rahasia terbesar dalam hidup adalah melewati hari ini dengan penuh makna tentang cinta, ilmu dan iman. Karena dengan cinta hidup menjadi indah, dengan ilmu hidup menjadi mudah dan dengan iman hidup menjadi terarah.

Melewati Hari Dengan Penuh Makna

Rahasia terbesar dalam hidup adalah melewati hari ini dengan penuh makna tentang cinta, ilmu dan iman. Karena dengan cinta hidup menjadi indah, dengan ilmu hidup menjadi mudah dan dengan iman hidup menjadi terarah.